saya bermimpi,
disebuah rumah yang tampak kecoklatan,
ketika itu sedang perang, dan saya tinggal di area yang aman
sehingga dijadikan tempat pengungsian.
salah satu pengungsi,
membawakan saya sebuah buku
"ini buku untuk kamu buka ketika kamu siap nanti. jangan pernah mengintip."
saya tidak mengerti, untuk alasan apa saya harus siap?
"memangnya kenapa? apa yang membuat saya harus siap memembuka buku ini?"
lalu si pengungsi, yang matanya diperban satu, dengan baju lusuh ala pegawai negri,
berhidung mancung dan guratan wajahnya sangat jelas. Dia kurus dan berkulit putih,
hmmm bukan orang asli indonesia, mungkin kompeni?
diambilan sebatang rokok terakhir dari bungkus rokoknya, dan lalu merogoh kantongnya mencari korek api. tapi kebetulan saya sedang akan merokok juga, jadi saya bantu menyalakan apinya.
seketika dia membendung tangan saya, supaya apinya tidak mati.
tangannya dingin dan kotor. dengan nafas panjangnya menghisap nikotin itu dalam-dalam,
lalu menghembuskannya. tangan tremornya nyaris membuat rokoknya jatuh.
"disanalah kamu akan menemukan jawabannya, tentang apa yang kamu malu pertanyakan sebelumnya."
saya dibuat bingung, pertanyaan apa yang membuat saya malu untuk bertanya.
"aduh gak ngerti pak, apaan ya?"
dengan mata satunya, dia nyengir,
"maka dari itu, nanti saja kalau kamu sudah siap."
lalu saya berjalan masuk dengan niat mengambilkan bapak itu air minum.
suasana rumah saya penuh orang, suster, tentara-tentara, pengungsi.
semua berlalu lalang seperti korban habis perang.
lalu ketika sampai lagi didepan, bapak itu sudah hilang.
tetapi buku itu ada di meja kayu.
saya bawa masuk dan saya taruh di meja kamar.
selepas itu saya kembali diantara kaum pengungsi.
jelang beberapa jam, tiba saatnya saya tidur.
tapi saya masih menikmati beberapa batang rokok bersama para pengurus yang lain.
tiba-tiba saya teringat dengan buku itu.
lalu saya izin masuk duluan.
sesampainya dikamar saya langsung loncat ke kasur,
sambil mengambil buku disamping meja tempat tidur.
saya tidak perlu bersiap-siap membuka buku itu.
langsung saya buka, dan isinya seperti kamus, akte, cerita dongeng dan catatan-catatan tangan tentang perang.
halaman demi halaman saya buka, ketikan mesin ini sudah seperti 50 tahun silam.
tiba saya dihalaman tengah, disana ada bahasa yang saya tidak mengerti.
lalu ditengahnya ada akte, nama-nama yang saya juga tidak kenal, tetapi ini seperti berbentuk rangkuman akte dari beberapa orang.
tiba-tiba saya menemukan nama saya disana "Dian Wahyuningrum Onlydee"
ketika saya melihat nama orang tua saya,
Dave Korzac dan saya lupa nama ibunya.
saya terheran-heran. dia orang portugis dan ibu saya disana tertulis orang china yang sudah tinggal lama di indonesia.
tiba-tiba saya loncat dari tempat tidur, mengumpulkan semua ingatan saya dan saya bergegas keluar rumah, jalanan sudah sepi, hanya ada suara-suara televisi, saya berusaha menyusuri gang, melihat jalan demi jalan, masuk kerumah-rumah pengungsi lain, membelah daerah sekitar saya.
nihil.
bapak tadi yang mengantarkan buku itu, berseragam dan bernama Dave Korzac.
Tuhan lagi-lagi bermain dengan pikiran dan terutama hati saya.
sesuatu yang datang, lalu dibuat pergi.
memberi saya senyuman sedetik lalu dan memberi saya tamparan di detik berikutnya.
hikmahnya, mungkin memang seharusnya saya tidak perlu membuka buku itu,
karena setelahnya hidup saya mati setengah.
disebuah rumah yang tampak kecoklatan,
ketika itu sedang perang, dan saya tinggal di area yang aman
sehingga dijadikan tempat pengungsian.
salah satu pengungsi,
membawakan saya sebuah buku
"ini buku untuk kamu buka ketika kamu siap nanti. jangan pernah mengintip."
saya tidak mengerti, untuk alasan apa saya harus siap?
"memangnya kenapa? apa yang membuat saya harus siap memembuka buku ini?"
lalu si pengungsi, yang matanya diperban satu, dengan baju lusuh ala pegawai negri,
berhidung mancung dan guratan wajahnya sangat jelas. Dia kurus dan berkulit putih,
hmmm bukan orang asli indonesia, mungkin kompeni?
diambilan sebatang rokok terakhir dari bungkus rokoknya, dan lalu merogoh kantongnya mencari korek api. tapi kebetulan saya sedang akan merokok juga, jadi saya bantu menyalakan apinya.
seketika dia membendung tangan saya, supaya apinya tidak mati.
tangannya dingin dan kotor. dengan nafas panjangnya menghisap nikotin itu dalam-dalam,
lalu menghembuskannya. tangan tremornya nyaris membuat rokoknya jatuh.
"disanalah kamu akan menemukan jawabannya, tentang apa yang kamu malu pertanyakan sebelumnya."
saya dibuat bingung, pertanyaan apa yang membuat saya malu untuk bertanya.
"aduh gak ngerti pak, apaan ya?"
dengan mata satunya, dia nyengir,
"maka dari itu, nanti saja kalau kamu sudah siap."
lalu saya berjalan masuk dengan niat mengambilkan bapak itu air minum.
suasana rumah saya penuh orang, suster, tentara-tentara, pengungsi.
semua berlalu lalang seperti korban habis perang.
lalu ketika sampai lagi didepan, bapak itu sudah hilang.
tetapi buku itu ada di meja kayu.
saya bawa masuk dan saya taruh di meja kamar.
selepas itu saya kembali diantara kaum pengungsi.
jelang beberapa jam, tiba saatnya saya tidur.
tapi saya masih menikmati beberapa batang rokok bersama para pengurus yang lain.
tiba-tiba saya teringat dengan buku itu.
lalu saya izin masuk duluan.
sesampainya dikamar saya langsung loncat ke kasur,
sambil mengambil buku disamping meja tempat tidur.
saya tidak perlu bersiap-siap membuka buku itu.
langsung saya buka, dan isinya seperti kamus, akte, cerita dongeng dan catatan-catatan tangan tentang perang.
halaman demi halaman saya buka, ketikan mesin ini sudah seperti 50 tahun silam.
tiba saya dihalaman tengah, disana ada bahasa yang saya tidak mengerti.
lalu ditengahnya ada akte, nama-nama yang saya juga tidak kenal, tetapi ini seperti berbentuk rangkuman akte dari beberapa orang.
tiba-tiba saya menemukan nama saya disana "Dian Wahyuningrum Onlydee"
ketika saya melihat nama orang tua saya,
Dave Korzac dan saya lupa nama ibunya.
saya terheran-heran. dia orang portugis dan ibu saya disana tertulis orang china yang sudah tinggal lama di indonesia.
tiba-tiba saya loncat dari tempat tidur, mengumpulkan semua ingatan saya dan saya bergegas keluar rumah, jalanan sudah sepi, hanya ada suara-suara televisi, saya berusaha menyusuri gang, melihat jalan demi jalan, masuk kerumah-rumah pengungsi lain, membelah daerah sekitar saya.
nihil.
bapak tadi yang mengantarkan buku itu, berseragam dan bernama Dave Korzac.
Tuhan lagi-lagi bermain dengan pikiran dan terutama hati saya.
sesuatu yang datang, lalu dibuat pergi.
memberi saya senyuman sedetik lalu dan memberi saya tamparan di detik berikutnya.
hikmahnya, mungkin memang seharusnya saya tidak perlu membuka buku itu,
karena setelahnya hidup saya mati setengah.